Akhir-akhir ini cosmopolitanism telah berkembang menjadi suatu tren masyarakat dunia yang suatu hari akan menyesatkan. Penyesatan ini berawal dari pengakuan multiculturalism yang kemudian bisa menjurus ke penyesuaian-penyesuaian ke arah dual citizenship. Sementara itu, dual citizenship itu sendiri adalah sesuatu yang menyesatkan.
Selera tiap orang memang berbeda-beda tapi lepas dari itu ada orang yang memiliki selera yang sedemikian beraneka-ragamnya sehingga identitas dirinya menjadi kabur. Hari ini makan nasi dan daging rendang, besok makan kentang dan steak. Pengalaman kita dalam mencicipi kedua jenis makanan tersebut mengklaim bahwa kita adalah cosmopolitan yang menganut paham cosmopolitanism di atas. Sah sudah...
Keesokkan harinya kita diundang suatu acara multicultural show oleh asosiasi lokal yang mana kita diminta untuk membawa makanan asli dari negara kita sendiri. Jelas yang kita bawa adalah nasi dan daging rendang karena kita bangga dengan nasionalisme makanan kita di depan bangsa-bangsa lain. Selain itu, kita juga ingin menunjukkan bahwa kita berbeda dengan yang lain.
Dua hari kemudian, kita merasa bahwa perbedaan yang kita miliki dengan khalayak mayoritas dianggap suatu hal yang justru dapat membanggakan diri kita. Akhirnya, kita merasa bahwa tanpa makan kentang dan steak pun eksistensi kita tetap diakui. Tapi, bolehlah sekali-sekali makan itu...
Kita merasa diuntungkan karena kita tidak dipaksa untuk berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Dimanapun kita merasa untung dan bebas, kita pasti betah lah...
Setahun, dua tahun, sampai akhirnya tanpa disadari kita berasosiasi tanpa berasimilasi dengan kelompok lokal. Asosiasi ini berjalan sebegitu alamiahnya dengan batasan-batasan anti-diskriminasi yang kuat. Tambah betah lah...
Lama kelamaan loyalitas kepada asosiasi setempat itu menjadi kuat. Sedemikian kuatnya sehingga kita memiliki kepentingan yang sama dan pantas dipersamakan dengan yang lain. Dalam manifestasi apa dan yang bagaimana? Ya citizenship, apa lagi dong...
Harapan kita akhirnya adalah semoga dual citizenship diijinkan oleh penguasa tempat kelahiran kita dan penguasa setempat. Karena model ini adalah cara paling aman ketimbang harus memilih dan menyangkal salah satu.
Tapi sayangnya dual citizenship itu sendiri sesat. Loyalitas yang kita miliki selalu diragukan. Bener nggak pak...?
3 comments:
TIDAK BENAR !!! ANDA TERLALU NEGATIF !
LEBIH BAIK TIDAK USAH MENULIS MACAM BEGINI DI BLOG MACAM BEGINI !!!
Posted by Anonymous
coba ke amrik sana, banyak yang punya dual citizenship. biasa-biasa aja tuh mereka.
LOYALITAS BUKAN DI STATUS WARGA NEGARA TAPI DI HATI NURANI.
Posted by Anonymous
Anonymous #1. Tidak ada yang negatif dalam tulisan ini. Tapi thanks atas tanda seru nya.
Anonymous #2. Di Amrik nggak ada orang Indonesia yang punya dual citizenship, soalnya memang tidak diperbolehkan sama pemerintah. Tapi betul, loyalitas ada di hati nurani.
Posted by jeffry
Post a Comment