13 January 2006

Oleh : Benny G.Setiono

[sumber]

Sebagai perantau yang mencari kehidupan baru di Indonesia, selama ratusan tahun etnis Tionghoa selalu menjadi pelengkap penderita, walaupun kedatangan etnis Tionghoa di negara-negara yang menjadi pilihannya semata-mata bertujuan mencari kehidupan baru atau memajukan perdagangan tanpa sedikitpun melakukan kekerasan, apalagi dengan tujuan-tujuan untuk menjajah seperti yang dilakukan bangsa-bangsa kulit putih.

Dari sejarah kita memperlajari bahwa jauh sebelum kedatangan orang kulit putih, telah berdiri pemukiman-pemukiman etnis Tionghoa di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Demikian juga di Sumatera Selatan (sekitar Palembang) dan pantai barat Kalimantan (sekitar Singkawang dan Pontianak). Mereka hidup damai dengan penduduk setempat dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dan pertukangan yang sudah tentu sangat membantu penduduk setempat. Di samping melakukan pengumpulan hasil-hasil pertanian mereka juga melakukan perdagangan eceran, pertukangan, industri kecil seperti industri tahu, gula, alcohol dsbnya. Mereka juga turut menyebarkan agama Islam di sepanjang pesisir pulau Jawa, yang dapat kita buktikan apabila kita mengunjungi mesjid-mesjid dan makam-makam para Walisongo.[1]

Namun kedatangan orang kulit putih terutama Belanda yang mempunyai niat untuk menguasai kepulauan Nusantara merusak hubungan baik etnis Tionghoa dengan penduduk setempat terutama dengan etnis Jawa.

Pada awalnya orang-orang Belanda menggunakan etnis Tionghoa untuk membantu membangun kota Batavia. Ketika pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda dan bermaksud memindahkan kantor dagangnya dari Maluku ke Jayakarta, ia merayu Souw Beng Kong pemimpin komunitas Tionghoa di Banten untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi Batavia. Kepada bawahannya Coen berkata : “Siapa pun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda harus bekerja- sama dengan orang-orang Tionghoa, karena mereka bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja“. Dalam laporannya kepada Heeren XVII di Belanda ia menyatakan : “ Tak seorang pun di dunia yang mengabdi kepada kita dengan lebih baik selain orang Tionghoa, terlampau banyak dari mereka yang tidak dapat dibawa ke Batavia “.[2]

Sebagai balas jasa, Souw Beng Kong diberi pangkat Kapitan Tionghoa ( Kapitein der Chinezen) yang pertama di Hindia Belanda. Inilah untuk pertama kali seorang tokoh etnis Tionghoa berhasil dirayu Belanda untuk bekerja sama dengan mereka dan memisahkannya dengan penduduk setempat.

Dengan pangkat tituler tersebut Souw Beng Kong ditugaskan untuk mengatur dan mengendalikan komunitas Tionghoa di Batavia agar patuh kepada setiap peraturan yang dibuat VOC. Coen segera memerintahkan agar Souw Beng Kong membangun kota dan memajukan perdagangan Batavia dengan mengalihkan jung-jung dari Tiongkok untuk merapat di bandar Batavia. Ia melakukan monopoli perdagangan dengan memblokade pelabuhan Banten dan melarang pedagang Tionghoa memasuki Banten. Akibatnya pelabuhan Banten menjadi sepi dan hubungan etnis Tionghoa dengan Sultan Banten menjadi renggang dan kurang harmonis.

Pada masa pemerintahannya di samping membujuk dan mengusahakan pindahnya etnis Tionghoa dari Banten, Coen banyak mendatangkan tenaga dari daratan Tiongkok untuk dijadikan kuli, tukang dan pedagang eceran demi memajukan koloni dan perdagangannya. Pelaut Belanda tidak segan-segan merompaki jung-jung Tionghoa secara terang-terangan dan menahan awak kapalnya untuk bekerja di Batavia. Pad tahun 1622 kapal-kapal Belanda menculik pria, wanita dan anak-anak di pantai Tiongkok Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut dengan sangat kejam di kepulauan Pescadores. Banyak yang meninggal sebelum tiba di Batavia dan kalau ingin bebas mereka harus bekerja keras terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang tebusan.

Pada masa inilah terjadi gelombang kedatangan etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa yang pada umumnya berasal dari provinsi Fujian. Jumlah etnis Tionghoa naik dengan pesat, dari 3.101 orang pada tahun 1682 menjadi 10.574 orang pada tahun 1739.[3] Pada tahun 1740 terdapat 2.500 rumah etnis Tionghoa di dalam tembok kota Batavia, sedangkan seluruh jumlah etnis Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah tersebut merupakan 17 % dari keseluruhan jumlah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah etnis Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar, karena berdasarkan sensus tahun 1778, 26 % jumlah penduduk yang berada di luar tembok kota adalah etnis Tionghoa. Sedangkan pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816) jumlah etnis Tionghoa merupakan 24 % dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota.

Mereka pada umumnya bekerja di perkebunan-perkebunan tebu atau pabrik gula dan perusahaan-perusahaan perkayuan yang diusahakan orang-orang Tionghoa di pinggiran kota Batavia yang tanahnya disewa dari pemerintah. Namun berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota yang dapat dikendalikan melalui pemimpinnya, orang-orang Tionghoa di luar kota atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistim institusi. Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di dalam kota dan berada di luar jangkauan, sehingga tidak pernah ada perundingan dengan mereka. Banyak dari mereka yang sukar mendapatkan pekerjaan dan menjadi penganggur.

Akibatnya penguasa Belanda merasa jumlah orang Tionghoa di Batavia terlampau banyak, yang dikuatirkan menimbulkan ekses yang buruk, sehingga pada awal abad ke- 18 kedatangan orang Tionghoa mulai dibatasi, malahan selama lima belas tahun jung-jung dari Tiongkok dilarang berlabuh di Batavia.

Apa yang dikuatirkan penguasa Belanda menjadi kenyataan, pada tahun 1740 terjadi pembunuhan massal terhadap orang Tionghoa di Batavia. Penguasa Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan permissiebriefje atau surat ijin menetap bagi orang Tionghoa dan sebuah Resolusi “bunuh atau lenyapkan” Resolusi ini memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang “mencurigakan” tanpa perduli apakah mereka mempunyai surat ijin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa, apabila ternyata tidak mempunyai penghasilan atau menganggur, harus pulang ke Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan ke Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli.[4]

Ternyata kebijaksanaan ini menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Ribuan etnis Tionghoa, bukan hanya penganggur dan bandit-bandit kriminal, tetapi para pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan dengan kekerasan dimasukkan ke kapal-kapal yang akan membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan rumah etnis Tionghoa dengan dalih mencari senjata sering kali disertai penganiayaan dan perampasan barang berharga.

Pejabat-pejabat Belanda juga mempergunakan kesempatan ini untuk memeras orang-orang Tionghoa kaya yang dimintai uang dalam usaha mendapatkan surat ijin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan etnis Tionghoa. Kabar angin segera berhembus bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut. Akibatnya situasi menjadi sangat tegang dan orang-orang Tionghoa yang resah kemudian berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang tersebut.

Untuk menumpas perlawanan orang-orang Tionghoa tersebut, penguasa Belanda bertindak dengan sangat kejam. Orang-orang Belanda dengan serdadu bayarannya dengan dibantu para budak, kelasi kapal dan gelandangan memburu orang-orang Tionghoa dari rumah ke rumah. Setiap orang Tionghoa yang ditemuinya, tidak perduli laki-laki atau perempuan, tua maupun muda, bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai dengan sadis dan di luar batas peri kemanusiaan. Barang-barang mereka dijarah kemudian rumahnya dibakar. Demikian juga para tahanan dan pasien rumah sakit diseret keluar dan dibunuh dengan sangat kejam.

Aksi pembunuhan tersebut berlangsung selama dua minggu dan menelan korban lebih dari 10.000 orang etnis Tionghoa. Seluruh etnis Tionghoa yang tinggal di dalam kota oleh orang-orang Belanda telah disapu bersih. Inilah peristiwa pembunuhan massal yang pertama sepanjang sejarah terhadap perantau Tionghoa yang dilakukan secara brutal.

Baru dua minggu kemudian Gubernur Jenderal Valckenier menghentikan perbuatan keji tersebut. Amnesti bagi semua orang Tionghoa diumumkan, peraturan surat ijin dihentikan. Orang-orang Tionghoa diharuskan tinggal di tempat tersendiri (ghetto) di luar tembok kota, agar pemerintah dapat mengawasi kegiatan mereka. Perlahan-lahan orang-orang Tionghoa yang telah melarikan diri, kembali ke Batavia. Menurut Cator dalam bukunya “Economic Position of Chinese”, setelah amnesti tersebut masih tersisa 3.341 orang Tionghoa di Batavia, termasuk 1.442 orang pedagang, 935 orang pengolah tanah dan tukang kebun, 728 orang pekerja di perkebunan tebu dan perkayuan dan 236 orang tukang kayu dan batu.[5]

Setelah kejadian tersebut terjadi kegemparan di kalangan orang-orang Belanda terutama para anggota Dewan Hindia yang sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Mereka saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab dalam peristiwa pembunuhan etnis Tionghoa (Chinezenmoord) ini dan menuding Gubernur Jenderal Valckenier yang paling bertanggung jawab. Mereka juga merasa kuatir akan pembalasan yang datang bukan saja dari etnis Tionghoa yang ada di Batavia, tetapi juga dari pemerintah Tiongkok. Untuk mengantisipasinya mereka menulis surat kepada Kaisar Tiongkok, meminta pengertiannya atas tindakan mereka terhadap “bandit-bandit” Tionghoa yang telah mengganggu ketentraman penduduk Batavia, walaupun diakuinya bahwa banyak orang Tionghoa yang tidak bersalah telah menjadi korban.

Namun ternyata Kaisar Qianlong (1736-1795) dari dinasti Qing secara mengejutkan menjawab, ia merasa prihatin bahwa warganya yang karena memburu harta kekayaan, telah meninggalkan negaranya tanpa mengingat akan kuburan leluhurnya dan pantas mendapatkan hukuman.

Sikap dan kebijaksanaan Kaisar Qianlong ini untuk pertama kalinya membuktikan bahwa etnis Tionghoa yang telah melakukan diaspora ke berbagai negara sama sekali tidak dapat mengandalkan atau menggantungkan diri kepada negara leluhurnya. Bukannya melakukan protes dan memberikan pelajaran kepada penguasa Belanda di Batavia, malahan menyalahkan orang-orang Tionghoa yang terpaksa meninggalkan negaranya karena menghadapi kesulitan, bencana alam dan perang atau dalam rangka memajukan perdagangan internasional.[6]

Seperti diketahui dengan runtuhnya Dinasti Ming pada tahun 1644 dan naiknya Kaisar Shunzhi (1644-1661) dari Dinasti Qing (1644-1911) dimulailah masa penjajahan daratan Tiongkok oleh bangsa Manchu. Karena pada awal masa pemerintahan Kaisar Shunzhi masih terdapat perlawanan dari orang-orang Tionghoa, maka untuk menghancurkan martabat dan jati diri bangsa Tionghoa tersebut, ia memerintahkan seluruh bangsa Tonghoa untuk memakai taochang atau kuncir dan mewajibkan pembesar-pembesar Tionghoa dan rakyat Tiongkok mengenakan semacam pakaian, yang kedua ujung bajunya berbentuk kaki kuda dan bagian punggungnya disulam gambar pelana kuda. Dengan berpakaian semacam itu setiap orang Tionghoa yang memakai kuncir pada waktu berlutut, tampak persis seekor kuda dengan kuncir yang menjuntai bagaikan ekor kuda di pantatnya.[7] Sungguh penghinaan yang luar biasa !

Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Khubilai Khan (1279-1294) dari dinasti Yuan yang segera mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk memberikan pelajaran kepada Raja Kertanegara dari Singosari, setelah mendapatkan laporan dari utusannya Meng Chi yang menerima penghinaan dari raja tersebut dengan cara merusak muka dan memotong kedua telinganya dan mengusirnya kembali ke daratan Tiongkok. Kubilai Khan merasa terhina dan marah karena utusannya diperlakukan semacam itu.[8]

Puncak migrasi orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda adalah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sampai menjelang Perang Dunia ke II. Pada masa itu, setelah merasa mapan di tempat yang baru, mereka mendatangkan istri atau perempuan-perempuan Tionghoa dari kampung halamannya masing-masing untuk diajak hidup bersama dan membangun keluarga di tempat baru tersebut. Hal ini juga dipermudah dengan beroperasinya kapal-kapal motor yang lebih aman dan murah. Mulai masa inilah etnis Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi kelompok “peranakan” dan “totok”.[12] Jumlah kelompok totok bertambah dengan sangat menyolok dan perlahan-lahan mulai menggeser peranan kelompok peranakan di dunia perdagangan.

Karena hampir dua ratus tahun terpisah dengan tanah leluhurnya, kelompok peranakan Tionghoa di Hindia Belanda boleh dikatakan telah membaur dengan masyarakat setempat, walaupun masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi yang di bawa dari daratan Tiongkok. Namun pada umumnya mereka tidak dapat lagi bercakap-cakap dalam bahasaTionghoa/Fujian.

Pelaksanaan Politik Etis yang mereka rasakan tidak adil karena tidak menyentuh kelompok mereka dan timbulnya gerakan pembaruan di Tiongkok memberikan dorongan dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan perlunya pendidikan, persatuan dan adanya organisasi yang dapat mengangkat kehidupan mereka. Pada saat bersamaan di Asia berkembang gerakan Tiongkok Raya (Pan China) yang pengaruhnya mengimbas ke Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia atas prakarsa beberapa orang-orang peranakan Tionghoa, berdiri sebuah perkumpulan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe Koan yang mendirikan sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa (Tiong Hoa Hak Tong) di seluruh Hindia Belanda.[13] Maka mulai saat itu dimulailah masa yang disebut masa kebangkitan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, yang kelak akan memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan nasional Indonesia.

Berdirinya ratusan sekolah-sekolah Tionghoa yang juga mengajarkan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa (resinifikasi) dengan cepat membangkitkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan masyarakat Tionghoa. Ditambah lagi dengan terbitnya surat-surat kabar Melayu Tionghoa dan berkembangnya pers peranakan Tionghoa yang memainkan peranan yang sangat penting dalam membakar semangat nasionalisme Tiongkok tersebut.

Pada tahun 1907-1908 telah terbentuk “Siang Hwee” atau Kamar Dagang Tionghoa di berbagai kota di Jawa. Walaupun Siang Hwee dibentuk oleh gabungan golongan peranakan dan totok, namun ternyata golongan totok berperan lebih besar dalam organisasi dagang ini. Juga pada tahun 1907, “T’ung-meng Hui” (perhimpunan yang disumpah bersama, partai revolusioner Dr.Sun Yat Sen) membentuk cabang di Batavia. T’ung-meng Hui kemudian mengganti namanya menjadi “Chi-nan She” (Perkumpulan Perantau Nanyang) dan mendirikan taman-taman bacaan atau “Soe Po Sia” yang bertujuan menyebarkan doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran revolusioner Dr.Sun Yat Sen. Kalau Tiong Hoa Hwe Koan dipimpin oleh orang-orang peranakan, maka organisasi-organisasi lainnya seperti Siang Hwee, Soe Po Sia, T’ung-meng Hui dipimpin oleh orang-orang totok. Sejak masa inilah masalah dikotomi totok dan peranakan timbul dalam setiap organisasi Tionghoa di Indonesia.

Sejak akhir abad ke-19 pemerintah dinasti Qing mulai menaruh perhatian kepada orang-orang Tionghoa perantauan, termasuk yang berada di Hindia Belanda yang dinilai mempunyai potensi besar, baik di bidang politik maupun keuangan. Orang-orang Tionghoa perantauan ini kalau diperhatikan akan dapat memberikan dukungan yang besar, terutama di bidang keuangan bagi kelangsungan pemerintahan Kerajaan Tiongkok. Untuk itu dikirim beberapa orang pejabat untuk memajukan dan mengawasi pendidikan anak-anak Tionghoa dan memberikan beasiswa untuk belajar di Tiongkok serta mendirikan sebuah sekolah khusus untuk menampung anak-anak Tionghoa perantauan. Sekolah tersebut didirikan di Nanjing pada tahun 1906 dan diberi nama “Kay Lam Hak Tong”. Pada tahun 1908, atas pertanyaan L.H.W.Sandick, anggota Raad van Justitie, pengurus Tiong Hoa Hwe Koan Batavia menyatakan bahwa ada 111 orang murid T.H.H.K. yang dikirim belajar ke Nanjing dengan bantuan pemerintah Kerajaan Tiongkok.[14]

Pada tahun 1907, Assisten Sekretaris Departemen Pertanian Yuan Shih-tshi mengunjungi Hindia Belanda untuk mempelajari masalah-masalah perdagangan dan sebagai hasil kunjungannya tersebut, banyak usul dan petisi yang dikirim ke Beijing untuk kepentingan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1908 Wang Kang-ky, sekretaris delegasi Kerajaan Tiongkok di The Hague, melakukan perjalanan ke Hindia Belanda untuk beberapa bulan lamanya. Di Surabaya ia melakukan sensus setengah resmi dan memberikan rekomendasi bahwa orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda harus memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Belanda. Pada tahun 1909, dua kapal perang Kerajaan Tiongkok merapat di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, membawa Wa Ta-cheng, Sekretaris Departemen Pendidikan yang untuk beberapa waktu lamanya mempelajari kondisi perdagangan di Hindia Belanda. Pada tahun 1910, Chao T’sun-fan, Penasihat Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan datang dengan maksud yang sama.

Perkembangan sekolah-sekolah T.H.H.K. dan tumbuhnya nasionalisme Tiongkok di kalangan masyarakat Tionghoa, ditambah dengan usaha-usaha pemerintah Kerajaan Tiongkok untuk mendekati para perantau Tionghoa menimbulkan kekuatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Untuk mengantisipasinya, dibentuk Biro Urusan Tionghoa yang bertugas memberikan masukan dan nasihat kepada pemerintah untuk melaksanakan politik yang tepat dalam menghadapi masalah Tionghoa. Anggota Biro ini antara lain L.H.W. van Sandick dan P.H.Fromberg yang kemudian mendesak pemerintah agar membuka sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa. Pada tahun 1907, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Holland Chineesche School (HCS) dan kemudian sekolah-sekolah lanjutan antara lain MULO, HBS, HCK dsbnya. Sekolah-sekolah ini berhasil menarik minat golongan peranakan yang berpendapat lulusan sekolah Belanda ini lebih mudah memperoleh pekerjaan. Dengan dibukanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil mempertajam perpecahan di antara golongan peranakan dan totok.

Selanjutnya pada tahun 1907, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan orang Tionghoa mengajukan permohonan untuk memperoleh persamaan status hukum dengan golongan Eropa (gelijkstelling). Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status Eropa tersebut antara lain, fasih berbahasa Belanda, mempunyai kekayaan yang cukup dan harus mengikuti wajib militer. Di samping itu pemohon harus dengan tegas menyatakan secara tertulis bahwa ia sudah tidak cocok lagi hidup di kalangan masyrakat Tionghoa. Lengkaplah usaha pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memecah-belah etnis Tionghoa.

Untuk menghadapinya, pada tahun 1909 pemerintah Kerajaan Tiongkok mengeluarkan Undang-undang Kebangsaan yang menyatakan bahwa seluruh orang keturunan Tionghoa atau setiap anak yang sah maupun tidak sah dengan seorang ayah Tionghoa (atau seorang ibu Tionghoa apabila ayahnya tidak diketahui) adalah berkebangsaan Tiongkok (azas jus sanguinus). Sudah tentu hal ini menimbulkan kegoncangan di kalangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

0 comments: