13 January 2006

Oleh : Pramoedya Ananta Toer

[sumber]

Pada awal abad 17 masyarakat Belanda menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari rempah-rempah, melintasi sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah benua. Di negeriku, beberapa belas tahun kemudian, tepatnya pada 1614, raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa, raja pedalaman, generasi kedua dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru menghancurkan negara bandar dagang Suarabaya, hanya karena embutuhkan pengakuan atas kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub disini: pada waktu Belanda mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung.

Mataram sendiri adalah kerajaan kuat kedua di Jawa yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi kedahsyatan Portugis di laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total menghalau koloni kecil Belanda di Batavia pada 1629. Kekalahan itu membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut pelayaran internasional pada masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita, untuk memperthankan kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh, bahwa pendiri Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan (pulau Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.

Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang satu ini diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang memalukan. Juga dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia sekarang. Orang akan membelak bila mengikuti materi tertulis orang Barat tentang dia. Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak jadi raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran. Kronik yang diwariskan pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang nurani, yang nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan bahasa Jawa.

Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya kapal-kapal meriam Barat, golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan ikut mundur.

Namun para pujangga pengabdi sistim kekuasaan, menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan Agung marak, Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para pujangga tetap tidak mengambil peduli. Nyai Roro Kidul, justru dibakukan sebagai kekasih setiap raja Mataram, generasi demi generasi, dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa sehinggga menjadi polisi. aneh tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa praktis mulai memeluk Islam. Penyebaran agama baru ini tidak disertai peradabannya sebagaimana halnya dengan hindusisme, karena praktis sebgai akibat sekunder dari terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan Barat yang Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di Semenanjung Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat sekunder dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya.

Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu tulisan ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan. Sebuah hotel di pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk Dewi Laut Selatan tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang berideologi Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya yang pertama menerima kehadiran seorang dewi laut, kekasih para raja Mataram. Para pujangga tidak pernah teringat
bahwa dengan kekuasaan tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram tidak pernah menang dalam konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang dari ujung dunia.

Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung', ditelan mentah-mentah oleh anda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan. Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda, Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya 'kampung'nya dengan klimaks 'kampung'nya: "mandi darah saudara-saudara sendiri", sampai 1965-66. .... Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas pembantaian
mencapai skala tanpa batas.

Penjajahan Belanda, ataui Eropa, atas negeriku telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan, negeriku akan tiada hentinya mencucukan darah putera-puterinya. Perebutan tempat kedua setelah Belanda dalam kekuasaan administrasi di Jawa dalam pertengahan abad 18, yang konon mengucurkan seperempat dari jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang seorang pangeran yang mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I, baru-baru ini malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang wisatawan mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia akan mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20 ini patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di Jalan Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya Mahabharata, "mandi darah saudara-saudara sendiri".

Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan budaya 'kampung' menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita masturbasik yang dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari peradaban dan budaya 'kampung' asal etnikku sendiri.

Sekali lagi maaf. Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak
atas Eropa. Itu terjadi di Ternate pada 1575. Portugis diusir dari bentengnya dan menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa, tentara yang menyerah itu tidak dibikin mandi darahnya sendiri, tetapi digiring ke pantai, diperintahkan menunggu sampai dijemput armada Portugis. Dan karena terjadi jauh di luar Jawa, di Maluku, tidak pernah disinggung dalam mata pelajaran sejarah resmi sampai 1990 ini. Mungkin perlu waktu sampai seorang peneliti asing menerbitkan karyanya. Atau mungkin sudah pernah terbit hanya aku saja yang tidak tahu.

Sekiranya dahulu aku terdidik suatu disiplin ilmu, misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang akan menjawab: mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus yang datang dan pergi dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan jadilah kenyataan baru, kenyataan sastra, kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang itu juga, kenyataan historis.

Kenyataan sastra yang mengandung di dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban dan budaya, yang justru tidak dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya sastra adalah sebuah thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam bangunan-atas kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan penemuan-penemuan baru di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah lebih maju.

0 comments: